Selasa, 13 September 2011

bangunan pemecah ombak


BAB I

PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

 Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan ` memiliki ± 13.000 pulau besar maupun kecil yang  sementara masih dalam proses pembangunan,dalam masalah ini transportasi adalah masalah besar yang dapat menghambat pembangunan tersebut. Untuk mengatasi masalah ini maka yang berperan penting adalah pelayaran,terutama  dalam mendistribusikan pembangunan dan hasil-hasilnya. Untuk membantu mendistribusikan pembangunan dan hasil – hasilnya diperlukan suatu sarana, dalam hal ini  Kapal merupakan sarana pelayaran yang mempunyai peranan penting dalam sistem angkutan laut.Untuk mendukung sarana angkutan laut tersebut diperlukan prasarana yang berupa pelabuhan. Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian (terminal) kapal setelah melakukan pelayaran. Tentunya disamping itu pelabuhan memiliki fungsi dan peran lain serta fasilitas tertentu yang dapat menunjang tujuan utama diatas.
Di daerah pelabuhan tersebut khususnya di daerah luar pantai terjadi gelombang, angin, arus dan transportasi sedimen yang dapat menimbulkan pendangkalan pada daerah pelabuhan, sehingga dapat menghambat proses kegiatan bongkar muat dan pelayaran di dalam pelabuhan. Agar kegiatan pelayaran dan bongkar muat barang dapat berjalan dengan lancar perlu dibangun suatu bangunan pelindung pelabuhan yang disebut pemecah gelombang.
1.2. Maksud dan Tujuan
1.      Maksud
Maksud pembangunan pemecah gelombang adalah :
  1. Mengidentifikasi masalah yang ada pada lokasi pelabuhan yang terdiri dari aspek tekhnis, sosial ekonomi, dan lingkungan hidup di sekitarnya.
  2. Menganalisa permasalahan di atas guna mendapatkan di mensi pemecah gelombang yang sesuai dengan kondisi wilayah yang bersangkutan.
  3. Merencanakan pemecah gelombang sebagai pelindung pelabuhan sesuai dengan kondisi wilayah daerah tersebut.
2.      Tujuan
Tujuan pembanguan pemecah gelombang adalah :
a.       Melindungi daerah pelabuhan terhadap gelombang, arus, dan angin.
b.      Mencegah terjadinya transportasi sedimen yang dapat menyebabkan pendangkalan pada daerah kolam pelabuhan.
1.3. Gambaran Umum Lokasi
Lokasi berada di kabupaten Merauke Propinsi Papua.
1.4. Lokasi
Lokasinya yaitu di Kabupaten Merauke di Propinsi Papua, seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 1.1 Lokasi pembangunan di kepulauan Merauke

1.5. Keadaan Geografi
a. Letak Geografis
Lokasinya berada di kabupaten Merauke propinsi Papua. Daerah ini terletak di bagian paling timur Indonesia. 
b. Batas wilayah
Batas daerah Merauke adalah sebagai berikut :      
·         Sebelah Utara  berbatasan  dengan Propinsi Papua
·         Sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea
·         Sebelah Selatan dan Barat berbatasan dengan Samudera  Fasifik
c. Luas Wilayah
            Luas wilayah kabupaten Merauke adalah 6.472 km2.
d. Oseanografi
Lokasi studi berhadapan langsung dengan Samudera Fasifik. Dengan demikian karakteristik oseanografi pada lokasi studi akan sangat dipengaruhi oleh kondisi angin dan gelombang di Samudera Pasifik. Dimana dalam hal ini, data angin akan diperoleh dari Badan Metereologi dan Geofisika terdekat dari lokasi studi. Data angin tersebut akan digunakan untuk memprediksi atau meramalkan gelombang dilaut dalam, selanjutnya dilakukan analisis selanjutnya guna penentuan gelombang di lokasi.

e. Kondisi Iklim Daerah Merauke
1. Musim
Keadaan musim di daerah studi secara umum sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, yaitu mempunyai musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan November sampai dengan Maret, dimana pada bulan tersebut angin bertiup dari Asia dan Samudera Fasifik dan mengandung banyak air.
Musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai dengan Oktober, dimana antara bulan tersebut angin timur bertiup dari Australia yang sifatnya kering dan kurang mengandung air. Khususnya pada bulan April arah angin baisanya tidak menentu, demikian juga curah hujan sehingga pada bulan ini dikenal dengan musim pancaroba.
2. Suhu udara
Tinggi rendahnya suhu di suatu tempat dipengaruhi oleh posisi suatu tempat dari permukaan laut. Makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, maka akan semakin rendah suhunya dan sebaliknya. Oleh sebab itu daerah Merauke suhunya tidak merata pada suatu tempat dengan tempat yang lain.


BAB II

 KONDISI HIDRO OSEANOGRAFI


2.1. Angin

Sirkulasi udara yang kurang lebih sejajar dengan permukaan bumi disebut angin, dimana gerakan udara ini dipengaruhi oleh perubahan temperatur atmosfer. Kecepatan angin dihitung dengan anemometer dan apabila tidak tersedia anemometer, maka kecepatan angin dapat diperkirakan berdasarkan lingkungan dengan menggunakan skala Beaufort. Dalam hal ini angin dianggap sebagai pembangkit gelombang, dimana angin yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke air, kecepatan angin akan menimbulkan tegangan pada permukaan laut sehingga permukaan air yang semula tenang akan terganggu dan timbul riak gelombang kecil. Apabila kecepatan angin bertambah besar, maka riak gelombang pun akan semakin membesar, dan seterusnya sehingga terbentuk gelombang.
Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan, dipengaruhi oleh angin dengan variabel kecepatan angin U, lama hembus angin D, arah angin dan fetch F (daerah dimana kecepatan dan arah angin konstan). Distribusi kecepatan angin diatas permukaan laut terbagi dalam tiga daerah sesuai dengan elevasi di atas permukaannya, yaitu :
a)       Geostropik Region, berada pada lebih dari 1000 meter di atas permukaan air dengan kecepatan angin konstan.
b)       Ekman Region, berada antara elevasi 100 – 1000 meter
c)       Relative Isobaric Region, berada antara elevasi 10 – 100 meter, dengan tekanan relatif konstan.
Pada dua daerah terakhir, kecepatan dan arah angin berubah seiring dengan berubahnya elevasi. Hal ini disebabkan oleh adanya gesekan dengan permukaan laut dan perbedaan temperatur antara air dan udara.
Data angin diperoleh dari data tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah bangunan pelindung pantai.. Data angin tersebut merupakan angin permukaan. Tipe data adalah data harian selama 1 tahun. Data terdiri dari data kecepatan angin maksimum dan rata-rata dari berbagai arah datang angin (lihat lampiran).

2.2. Pasang surut

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi dari waktu, karena adanya gaya tarik antara benda-benda di langit, utamanya matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi.
Kondisi pasang surut yang perlu diketahui dalam perencanaan pemecah gelombang adalah :
o   Kedudukan permukaan air tertinggi (pasang).
o   Kedudukan permukaan air terendah (surut).
o   Waktu pasang dan waktu surut.
Dalam perencanaan perencanaan pemecah gelombang, pengetahuan tentang pasang surut sangat penting, untuk memprediksi elevasi di puncak pemecah gelombang, alur pelabuhan dan mengetahui waktu pengecoran di pelabuhan dapat dilaksanakan.
Beberapa jenis elevasi permukaan air yang ditetapkan berdasarkan data pasut dan dipakai dalam perencanaan pemecah gelombang adalah :
o   Muka Air Laut Tertinggi (High Water Level, HWL), yaitu muka air tertinggi yang dicapai pada saat pasang dalam satu siklus pasang surut.
o   Muka Air Laut Terendah (Low Water Level, LWL), adalah kedudukan air terendah yang dicapai pada saat surut dalam satu siklus pasut.
o   Muka Air Tinggi Rerata (Mean High Water Level, MHWL), yakni rerata muka air tinggi selama periode tertentu, kurang lebih 19 tahun.
o   Muka Air Rendah Rerata (Mean Low Water Level), adalah rerata muka air rendah selama periode tertentu, kurang lebih 19 tahun.
o   Muka Air Laut Rerata (Mean Sea Level, MSL), yaitu muka air rerata antara MHWL dan MLWL.
o   Higher High Water Level (HHWL), adalah muka air tertinggi dari dua air tinggi dalam satu hari, seperti pada pasut campuran.
o   Lower Low Water Level (LLWL), adalah muka air terendah dari dua air rendah dalam satu hari, seperti pada pasut campuran.
Dalam merencanakan bangunan pantai, tinggi pasang surut mutlak diketahui, untuk mengetahui elevasi bangunan dari permukaan laut pada saat air pasang dan surut. Guna keamanan, dalam menentukan besar pasang surut pada suatu daerah yang belum diketahu pasang surutnya, biasanya dilakukan pengukuran pasang surut minimal 15 hari kemudian dianalisis dan diprediksi sejauh 50 tahun kedepan. Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk meramalkan pasang surut diantaranya metode Least Square, Admiralty dan lain-lain. Hasil yang diperoleh adalah konstanta pasang surut. Dari konstanta pasang surut ini dapat diketahu besarnya pasang surut dan juga tipe pasang surutnya. Berikut diberikan formula untuk menghitung elevasi muka air tertinggi Z, muka surutan (chart datum), dan tipe pasang surut (direpresentasikan oleh nilai formzahl F) berdasarkan konstanta pasang surut (Yuwono, 1992 dan Ongkosongo, 1989).

            Z          =          ...........................................(2.1)
            Zo        =          .....................................................(2.2)
               F       =          ...................................................................(2.3)
              HWS    = 2 ( M2 + S2 + K1 + O1 ).................................................(2.4)
Berdasarkan nilai F, pasang surut di suatu wilayah diklasifiaksikan seperti berikut :
          F  ¼              : Pasang surut harian ganda
          ¼ F  3/2    : Pasang surut campuran condong ke harian ganda
          3/2 F  3     : Pasang surut campuran condong keharian tunggal
          F > 3                : Pasang surut harian tunggal
Dengan menggunakan metode Admiralty pasang surut dipisahkan dari komponen-komponen penyusunya dan diperoleh konstanta pasang surut seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Konstanta pasang surut
Konstanta
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
M4
MS4
Z0
Amplitudo (cm)
113
46
22
6
80
50
21
-
-
330
Phase (360 - g)
340
237
20
263
215
283
210
-
-
-

Dengan menggunakan Persamaan 2.4 dan 2.2 diperoleh elevasi muka air tertinggi HWS = 5.4 m. ( Lihat lampiran  ) .
2.3 Gelombang
2.3.1 Karakteristik dan Parameter Gelombang
Pada perairan terbuka, bentuk gelombang mendekati bentuk lengkung sinus (sinusoidal), dimana arah perambatannya dinyatakan dengan sudut kemiringan terhadap arah angin. Gambar berikut menggambarkan suatu gelombang yang berada pada sistem koordinat x-y, dengan penjalaran gelombang arah x.

                            
Gambar 2.2. Ilustrasi Gelombang Sinusoidal
Beberapa notasi yang digunakan dalam perhitungan gelombang adalah sebagai berikut :
d          : jarak antara muka air rerata dengan dasar laut.
η(x,t)   : fluktuasi muka air terhadap muka air rerata.
a          : amplitudo gelombang
H         : tinggi gelombang (2a)
λ          : panjang gelombang
      T        : periode gelombang, interval waktu yang diperlukan oleh  partikel air untuk kembali pada kedudukan yang sama dengan kedudukan sebelumnya.
C         : cepat rambat gelombang (λ/T)
k          : bilangan gelombang (2p/λ)
ω         : frekuensi gelombang (2λ/T)

2.3.2                    Refraksi Gelombang
Kecepatan gelombang tergantung pada kedalaman air dimana gelombang tersebut merambat. Hal ini dapat dilihat pada persamaan cepat rambat gelombang. Gelombang di tempat yang dalam bergerak lebih cepat dari pada di tempat yang dangkal karena panjang gelombang akan berkurang sebanding dengan berkurangnya kecepatan gelombang akibat pengaruh kedalaman. Puncak gelombang bergerak menuju daerah yang dangkal dimana akan terjadi penikungan arah terjang gelombang Proses perubahan arah terjang gelombang inilah yang disebut dengan refraksi.
Karena kecepatan gelombang tregantung pada periode gelombang, maka dengan periode yang berbeda akan diperoleh pola refraksi yang berbeda pula. Gelombang dengan periode yang penjang akan lebih dulu terrefraksi pada air dalam, sehingga terbentuk gelombang yang lebih tinggi pada saat gelombang mencapai tepian pantai. Untuk keperluan perencanaan, maka diagram refraksi harus dibuat dalam beberapa periode yang paling berpengaruh pada suatu lokasi.
Beberapa cara untuk membuat diagram refraksi diantaranya :
a.      Wave Crest Method
Cara ini dikemukakan oleh Johnson dkk. pada tahun 1948. dasar dari metode ini adalah menentukan panjang gelombang pada setiap lokasi. Mula-mula perlu diketahui posisi puncak gelombang di dalam air, kemudian dibuat puncak gelombang–puncak gelombang yang lain berdasarkan panjang gelombang setempat.
b.      Orthogonal Method
Cara ini berdasarkan pada hukum Snellius, dan diperkenalkan oleh Arthur dkk. pada tahun 1952.
 =  =                                                                  (2.5)
dimana :
aa dan a2 : sudut antara garis kedalaman dengan puncak gelombang.
  C1 dan C2 : kecepatan rambat gelombang di tempat yang   ditinjau.
λ 1 dan λ 2  : panjang gelombang.
Gelombang yang memasuki perairan yang lebih dangkal ( dari d1 menjadi d2) akan berkurang kecepatan dan panjang gelombangnya dari C1dan λ1 menjadi C2 dan λ2. pada jarak orthogonal sejauh x dan selang waktu T diperoeh sin a1 = C1T/x dan sin a2 = C2T/x. Dengan pembagian diperoleh persamaan 2.6, yaitu hukum Snellius. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat gambar berikut ini :


 










Gambar 2.3. Sketsa Hukum Snellius Pada Gelombang

Dengan mengaplikasikan persamaan 2.6 di atas pada daerah pantai dengan kemiringan yang landai, dimana a1 dan a2 menjadi sudut antara puncak gelombang dengan kontur kedalaman pada titik yang berturutan, dan C1 dan C2 adalah kecepatan gelombang dimana a1 dan a2 diukur.
Jika gelombang mendekati pantai dengan kontur sejajar seperti terlihat pada gambar di atas, maka :
                                                                  (2.6)
dan jika kita pilih harga B0 dan B1 sedemikian sehingga panjang orthogonalnya l0 dan l1, maka dapat diperoleh koefisien refraksi (KR)
                                                             (2.7)
                                                                          (2.8)
                                                                  (2.9)










Gambar 2.4. Refraksi gelombang pada kontur dasar laut lurus dan sejajar.

2.3.3                    Difraksi Gelombang
Ketika dalam perjalanan serangkaian gelombang dijumpai penghalang impermeable seperti breakwaters, pulau atau tanjung, maka puncak gelombang akan berputar terhadap ujung penghalang dan bergerak ke daerah yang terlindungi oleh penghalang tersebut. Fenomena gelombang seperti ini disebut Difraksi Gelombang. Difraksi terjadi ketika terjadi perbedaan energi gelombang yang tajam sepanjang puncak gelombang. Pada awalnya kondisi daerah yang terlindung penghalang cukup tenang (tidak ada gelombang) saat gelombang melintasi penghalang. Perairan yang jauh dari penghalang akan memiliki energi yang lebih banyak (energi gelombang awal) dibandingkan dengan perairan di belakang penghalang yang semula tenang (tidak adanya energi karena tidak ada gelombang), sehingga terjadilah proses pemindahan energi di sepanjang puncak gelombang tersebut ke arah daerah yang terlindung penghalang. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar2.5. Difraksi Gelombang
Pada proses difraksi ini kedalaman air dianggap sama. Namun pada umumnya di daerah yang terlindung oleh penghalang, tinggi gelombang semakin berkurang.
Jika penghalang tersebut memantulkan energi gelombang, maka puncak gelombang pantulan juga akan terdifraksi dan membentuk pola puncak gelombang yang melingkari ujung penghalang. Daerah yang telindungi oleh penghalang ketika terjadi difraksi disebut dengan daerah difraksi Sedangkan perbandingan antara tinggi gelombang di daerah difraksi (HA) dengan tinggi gelombang yang datang (Hi) disebut Koefisien Difraksi (K’).
HA = K” x Hi                                                 (2.10)
Koefisien difraksi ini dipengaruhi oleh harga-harga parameter θ, β dan r/ λ seperti pada gambar 4. Wiegel (1964) menggunakan penyelesaian eksak dari Penny dan Price (1952) untuk menghitung harga koefisien difraksi sebagai fungsi dari parameter-parameter diatas. Nilai K’ dapat dilihat pada lampiran.
Apabila gelombang bergerak melalui celah penghalang (barrier gap), maka proses difraksi juga akan terjadi. Johnson (1952) menunjukkan suatu diagram yang dapat digunakan untuk memperkirakan nilai K’ pada gelombang yang melalui celah. Jika lebar celah lebih dari lima kali panjang gelombang yang datang, maka perhitungan koefisien difraksi dapat dilakukan secara terpisah seperti cara terdahulu, yaitu dengan menganggap kedua penghalang sebagai penghalang individual. Jika gelombang yang datang mendekati celah ini membentuk sudut terhadap penghalang, maka perhitungan dilakukan dengan menggunakan lebar celah maya (imaginary gap width) seperti pada gambar 2.6.

Text Box:   










Gambar 2.6. Gelombang Datang Dengan Sudut Tertentu terhadap celah penghalan














BAB III

ANALISIS DATA


3.1. Kondisi Topografi dan Bathymetri

Agar dapat melakukan perencanaan bagunan yaitu dalam penentuan letak gelombang pecah dan perhitungan volume pekerjaan serta penentuan tinggi bagunan, maka kontur bathymetri dan topografi harus diketahui.  Guna mendapatkan data topografi dan bathymetri, maka pada lokasi studi dilakukan pengukuran bathymetri dan topografi.
Dapat dikatakan bahwa garis-garis kontur kedalaman pada lokasi adalah sejajar. Dengan demikian dalam analisis refraksi gelombang didekati dengan teori refraksi dengan garis kontur kedalaman yang sejajar. Kedalaman perairan pada ujung pemecah gelombang sekitar 16 m pada saat air surut. Kedalaman lengan Pemecah gelombang pada saat pasang 11 m

3.2. Analisis Data Angin

            Data angin tersebut merupakan angin permukaan. Tipe data adalah data harian selama 1 tahun. Data terdiri dari data kecepatan angin maksimum dan rata-rata dari berbagai arah datang angin (lihat lampiran).
            Data angin dalam satuan knot di konversi ke satuan m/s (1 knot = 0,5144m/s), selanjutnya dilakukan perhitungan tegangan gesek angin UA. Adapun langkah-langkah menghitung tegangan gesek angin UA adalah sebagai berikut :
  1. Apabilah data angin dalam satuan knot, maka dikonversi terlebih dahulu ke m/s (1 knot = 1,852 Km/jam = 0,5144 m/s).
  2. Konversi data kecepatan angin menjadi data angin pada ketinggian 10 m dengan menggunakan persamaan berikut :
                  .......................................................(3.1)
      Dimana :
      U(10)L             = kecepatan angin pada ketinggian 10 meter di atas                                         tanah (land)
      U(y)                 = keceptan angin pada ketinggian y meter    
      y                      = ketinggian pengukuran
  1. Koreksi perbedaan temperatur antara laut dan darat, dengan menggunakan grafik pada Gambar 3.1. Apabila tidak ada data temperatur, maka faktor koreksi RT dapat ambil 1,1. Dengan demikan, kecepatan angin terkoreksi UL menjadi :
.....................................................................(3.2)
  1. Transformasi kecepatan angin di darat UL menjadi data pengukuran angin di laut Uw, dengan menggunakan grafik pada Gambar 3.1. dengan Demikian kecepatan angin untuk peramalan gelombang adalah :
                  ................................................................. (3.3)
Dengan RL adalah koreksi pencatatan angin yang dilakukan di darat. Apabila anemometer diletakkan di pantai, maka data angin tidak perlu dikoreksi lagi sehingga RT = 1, namun koreksi akibat adanya perbedaan tempertur tetap digunakan. Untuk lebih mempermudah analisis, maka grafik pada gambar 3.1. diukur absis dan ordinatnya kemudian dibuatkan persamaan garis regresi untuk memperoleh RL dan diperoleh :
            .............................................(3.4)
            R2 = 0,9986
Dengan demikian
                 .................................................(3.5)
  1. Konversi kecepatan angin pada point 4 menjadi tegangan angin UA  seperti berikut :
      ......................................................................(3.6)






Gambar 3.1. Faktor koreksi angin terhadap stabilitas suhu






 








Gambar 3.2. Faktor koreksi angin terhadap efek lokasi

3.2.1. Angin maksimum

Guna memprediksi gelombang untuk perencanaan bangunan, pada lokasi, maka digunakan data angin maksimum yang terjadi selama 1 tahun. Berdasarkan data angin maksimum yang diperoleh, dapat dilihat pada lampiran 1.
Dari kedelapan arah datang angin, yang paling potensial menimbulkan gelombang di lokasi studi adalah dari arah Utara, Timur Laut dan Barat Laut. Hal ini diakibatkan oleh karena pada arah selain diatas berbatasan dengan daratan.
Dari data angin maksimum pada lampiran 2 dan dengan menggunakan Persamaan 3.1 sampai 3.6 diperoleh tegangan gesek angin UA selama 1 tahun sebagai fungsi dari arah datang angin untuk memprediksi gelombang laut dalam. Hitungan tegangan gesek angin UA, dapat dilihat Pada lampiran 1 . Selanjutnya dari data kecepatan angin maksimum dan arahnya dibuatkan mawar angin seperti Gambar 3.3.

Gambar 3.3  Mawar angin maksimum

3.3. Perhitungan Fetch Effective

Untuk dapat meramalkan gelombang terlebih dahulu harus diketahui fetch efektif lokosi. Fetch adalah jarak seret gelombang dari daerah pembangkitan sampai ke pantai yang ditinjau, namun dalam aplikasi secara umum diambil fetch sama dengan jarak antara suatu daratan ke daratan yang disebelahnya yang terpisahkan oleh perairan. Di daerah pembentukan, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin. Oleh sebab itu digunakan istilah fetch efektif. Dalam memprediksi gelombang, penentuan fetch efektif dilakukan dengan cara menghitung fetch efektif dari 3 arah angin yaitu Barat, Barat Daya dan Selatan, Hal ini disebab oleh karena hanya pada arah ini tegangan gesek angin akan potensial membangkitkan gelombang yang sampai ke lokasi studi. Hasil pengukuran dan perhitungan fetch dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Fetch efektif dari berbagai arah datang angin

ARAH
PANJANG FETCH EFEKTIF (Km)
Barat
626,66645
Barat Daya
937,85789
Selatan
633,17678
Dengan diketahuinya tegangan gesek angin (UA) dan fetch efektif (F), maka peramalan gelombang laut dalam dapat dilakukan.

3.4. Peramalan Tinggi dan Periode Gelombang Laut Dalam

Gelombang di laut dalam, diramalkan berdasarkan tegangan angin dan panjang fetch efektif yang telah diperoleh. Dalam meramalkan gelombang (tinggi dan periode) diasumsikan bahwa pembentukan gelombang dibatasi oleh fetch dan tegangan gesek angin serta durasi. Berdasarkan Automated Coastal Engineering Sytem  di peroleh formula untuk meramalkan tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan oleh angin dan dibatasi oleh fetch dan kecepatan angin.
                       
                        .................................................(3.7)
                           ...............................................(3.8)
Dari suber yang sama, untuk pembangkitan gelombang yang dibatasi oleh durasi dan kecepatan angin diberikan seperti berikut :
                               .....................................(3.9)
                           ...................................................(3.10)
                          
Dimana t adalah durasi dan dapat diambil 16 jam. Berdasarkan Persamaan  3.4 sampai 3.7 diperoleh :
                        H         = min(H,Ht) ..............................................................(3.11)
                        T          = min(T,Tt) ...............................................................(3.12)
Dimana :
            H         = tinggi gelombang signifikan ramalan
            T          = periode gelombang signifikan ramalan
            g          = percepatan grafitasi bumi
            UA        = tegangan gesek angin
            F          = panjang fetch efektif

3.5. Gelombang Laut Dalam Representatif Dengan Kala Ulang Tertentu

Untuk keperluan perencanaan bangunan pantai, maka data gelombang yang diperoleh dari peramalan melalui data angin harus dipilih suatu tinggi yang dapat mewakili dan disebut tinggi gelombang representatif. Oleh karena itu data gelombang yang ada dipilih salah satu tinggi gelombang yang paling besar nilai setiap tahunya, kemudian dihitung tinggi gelombang yang dapat. Ada dua metode yang biasa digunakan untuk menentukan suatu tinggi gelombang yang representatif dengan kala ulang tertentu. Metode yang dimaksud adalah distribusi Fisher-Tippet tipe I dan distribusi Weibull. Dalam studi ini digunakan distribusi Fisher-Tippet tipe I dan secara matematis ditulis :
            1. distribusi Fisher-Tippet tipe I :
                               .........................(3.13)              Dengan :
              = probabiolitas bahwa Hs* tidak terlampaui  
            H                     = tinggi gelombang representsi
            H*                   = tinggi gelombang dengan kriteria tertentu
            A                      = parameter skulli
            B                      = parameter lokasi
Langkah-langkah perhitungan tinggi gelombang dengan periode ulang tertentu adalah sebagai berikut :
1.       Data dibuat dalam data tahunan dengan cara mengambil satu data maksimum setiap tahunnya (untuk studi ini terdapat 10 tahun data),
2.      Data tahunan diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil, selanjutnya probabilitas ditetapkan untuk setiap tinggi gelombang sebagai berkut :
                              ………………………....(3.14)                       Dimana :
  = probabiolitas dari tinggi gelombang ke m yang     tidak      terlampaui      
m                     = nomor urut tinggi gelombang signifikan = 1,2...,N
NT                   = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan (bisa           lebih besar dari gelombang representatif)
3.      Menghitung nilai A dan B pada Persamaan (3.13) dan (3.14), dengan metode kuadrat terkecil untuk setiap tipe distribusi yang digunakan. Hitungan didasarkan pada analisis regresi linier dari hubungan berikut :
                       ..........................................................(3. 15)   
      Dimana nilai ym diberikan untuk :
                        ...............................................(3.16)   
Dengan A* dan B* adalah perkiraan dari parameter skala dan lokal yang diperoleh dari analisis regresi linier.
4.      tinggi gelombang signifikan untuk berbagai periode ulang dihitung dari fungsi  distribusi probabilitas dengan rumus berikut ini :
                     ………......................................................(3.17)           
Dimana yr diberikan oleh rumus berikut :
       ................................................(3.18)               Dengan :
            Hsr       = tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang
            Tr         = periode ulang (tahun)
            K         = panjang data (tahun)
            L          = rerata jumlah kejadian per tahun (K = NT/K)

Penentuan kala ulang gelombang rencana biasanya didasarkan pada jenis konstruksi yang akan dibangun dan nilai daerah yang akan dilindungi. Makin tinggi nilai daerah yang akan diamankan, makin besar pula nilai kala ulang gelombang rencana yang dipergunakan. Sebagai pedoman penentuan nilai kala ulang gelombang rencana dapat menggunakan Tabel 3.2.



                 Tabel 3.2. Pedoman pemilihan jenis dan kala ulang gelombang
No
Jenis Struktur Bangunan
Kala Ulang (tahun)
1
Struktur Fleksibel
  1. Resiko rendah
  2. Resiko sedang
  3. Resiko tinggi

5 – 10
10 – 100
100 – 1000
2
Struktur Semi Kaku
  1. Resiko rendah
  2. Resiko sedang
  3. Resiko tinggi

5 – 10
10 – 100
100 – 1000
3
Struktur Kaku
  1. Resiko rendah
  2. Resiko sedang
  3. Resiko tinggi

5 – 10
10 – 100
100 – 1000
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk perancangan bangunan digunakan parameter gelombang yang dibangkitkan oleh angin maksimum. Parameter gelombang representatif yang dibangkitkan oleh angin maksimum dapat berupa tinggi dan periode gelombang maksimum (Hmax dan Tmax), tinggi dan periode gelombang 10% (H0,1 dan T0,1), tinggi dan periode gelombang rata-rata (H0,5 dan T0,5), tinggi dan periode gelombang signifikan atau 33% (Hs dan Ts) dan lain-lain, tergantung keperluan. Dengan mengelompokkan hasil ramalan gelombang (tinggi dan periode signifikan) berdasarkan arahnya, maka diperoleh hasilnya seperti pada Tabel 3.7.
Tabel 3.3. Tinggi dan periode gelombang signifikan maksimumTahunan untuk berbagai arah datangnya
Tahun Ke
H
T


BD
B
S
BD
B
S

1
1.558
0.875
0.875
5.314
4.063
3.726

2
2.541
1.294
0.875
6.673
4.874
4.063

3
0.875
1.814
1.158
4.063
5.703
4.628

4
0.875
2.184
1.019
4.063
6.218
4.360

5
1.294
1.814
1.558
5.314
5.703
5.314

6
2.774
2.062
1.158
6.951
6.054
4.628

7
1.294
2.423
1.019
4.874
6.527
4.360

8
2.774
1.158
1.294
6.951
4.628
4.874

9
1.019
1.558
1.019
4.360
5.314
4.360

10
1.019
3.003
0.727
4.063
7.213
3.726

11
1.558
1.294
1.019
5.314
4.874
4.360

12
2.184
1.558
0.875
6.218
5.314
4.063


Selanjutnya tinggi dan periode gelombang signifikan pada Tabel 3.7 diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil dan dengan menggunakan Persamaan 3.13 sampai 3.18, maka diperoleh tinggi dan periode gelombang di laut dalam dengan kala ulang 50 tahun serta merupakan tinggi dan periode gelombang representastif dan selanjutnya digunakan untuk analisis selanjutnya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut ini. Perhitungan yang lengkap tentang tinggi dan periode gelombang laut dalam dengan kala ulang 50 tahun dari setiap arah dapat dilihat pada lampiran .
Tabel 3.4. Tinggi dan periode gelombang laut dalam dengan kala ulang 50 tahunan
No
Arah
Ho (m)
To ( dtk)
1
Barat Daya ( SW )
3.9010244
8.731290169
2
Barat ( W )
3.6723402
8.303423735
3
Selatan ( S )
1.7062582
5.237446105

Dari Tabel 3.4 diperoleh bahwa tinggi dan periode gelombang yang paling besar adalah dari arah Barat daya (3,901 m dan 8,731 detik) disusul arah Barat (3,672 m dan 8,303 detik), dan Selatan (1,706 m dan 5,237 detik ).

3.6. Gelombang Pada Lokasi Bangunan

Berdasarkan gelombang di laut dalam, selanjutnya dilakukan perhitungan tinggi gelombang di lokasi studi atau biasa disebut gelombang rencana. Dalam perhitungan tinggi gelombang rencana diperhitungkan adanya proses refraksi dan shoaling, dalam perambatan gelombang dari laut dalam ke pantai. Gelombang rencana pada masing-masing lokasi berbeda-beda sebab sangat dipengaruhi oleh letak bangunan dari garis pantai atau kedalaman air di depan kaki bangunan. Dalam penentuan gelombang rencana dilakukan perhitungan gelombang pecah berdasarkan kedalaman air d  dan tinggi gelombang datang. Tinggi gelombang pecah didekati dengan Hb = 0,78 d. Dari hasil perhitungan tinggi gelombang pecah selanjutnya dibuatkan grafik Hb dengan d. Disamping itu juga tinggi gelombang yang dipengaruhi dengan refraksi dan shoaling H(Kr,Ks) dihitung dengan H(ks,Kr) = Ks.Kr Ho dan dibuatkan grafik hubungan antara tinggi gelombang tersebut dengan kedalaman pada grafik yang sama dengan grafik hubungan antara kedalaman dengan tinggi gelombang pecah.  Untuk menghitung koefisien shoaling digunakan formula berikut (SPM, 1984) :
...........................................(3.19) 
Dalam perhitungan koefisien refraksi kontur pantai dianggap sejajar, sehingga berlaku persamaan berikut ini :

...................................................................................(3.20)  
Dimana :
Sinα1    = (C1/Co)Sin α0
C1       = (gd)2
Co       = 1,56To2
C1       = Kecepatan gelombang pada kedalaman titik 1 (dipantai)
Co       = kecepatan gelombang pada laut dalam
α0         = sudut antara puncak gelombang datang dengan garis pantai
α1         = sudut  antara puncak gelombang yang meninggalkan titik 1     terhadap garis pantai
T          = Periode gelombang
Dalam perhitungan koefisien shoaling dilakukan pada beberapa perubahan kedalaman laut. Sedangkan untuk perhitungan koefisien refraksi disamping dilakukan pada beberapa kedalaman juga dilakukan pada beberapa arah gelombang datang (Barat, Barat Daya dan Selatan). Panjang gelombang dihitung dengan rumus berikut.
.....................................................................(3.21)       
Persamaan 3.21 di atas pada ruas sebelah kanan dan kiri ada variabel L, maka untuk mendapatkan nilai L dilakukan cara iterasi (lihat lampiran) . Sedangkan perhitungan koefisien shoaling Ks dan koefisien refraksi Kr untuk gelombang yang dibangkitkan oleh angin maksium dapat dilihat pada ( Lihat lampiran).
Dengan menggunakan nilai koefisien shoaling dan koefisien refraksi, serta tinggi dan periode gelombang laut dalam seperti pada Tabel 3.8, dapat diperoleh grafik hubungan antara tinggi gelombang H =0,78.d dengan kedalaman d serta hubungan antara tinggi gelombang datang H(Ks, Kr) dengan kedalaman untuk berbagai arah gelombang datang (Gambar 3.4 a sampai c).


Gambar 3.4 .a. Grafik hubungan antara kedalaman dengan Hb serta H(Ks,Kr) untuk gelombang datang dari arah Barat

Gambar 3.4.b. Grafik hubungan antara kedalaman dengan H serta H(Ks,Kr) dan Hb untuk gelombang datang dari arah Barat daya

Gambar 3.4.c. Grafik hubungan antara kedalaman dengan H serta H(Ks,Kr) dan Hb untuk gelombang datang dari Arah Selatan.

Adapun grafik hubungan antara elevasi kontur dengan tinggi gelombang datang H(Ks, (Gambar 3.5 a sampai c).

Arah Barat









               
Arah Barat daya